Waspada Gejala Longsor di Gunung Selili

Samarinda 10 Februari 2015

Gunung Selili merupakan satu lokasi yang paling pas untuk menikmati keindahan pemandangan Kota Samarinda yang berada di tepi Sungai Mahakam. Namun pada awal Februari 2015, satu di antara puncak ibu kota Kalimantan Timur ini mengalami gejala alam yang cukup meresahkan penduduk yang bermukim di sana.

Terjadi gejala longsor di ujung Jalan Lumba-Lumba pada Gunung Selili yang ditandai bergesernya tanah sehingga sebuah jembatan kayu ambrol. Petugas dari Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran telah siap siaga di lokasi tersebut. Sebagian warga memilih mengungsi.

Jembatan kayu ambrol di Gunung Selili Samarinda

Mengenai fenomena tanah geser di lokasi yang pada masa kolonialisme Belanda disebut memiliki potensi batu bara ini ada analisis seputar histori geologinya dari Fajar Alam, warga Samarinda alumnus UGM. Fajar Alam memaparkan, dulu sewaktu Samarinda belum seramai sekarang, kira-kira 23 juta tahun silam terjadi patahan naik di Selili (Bukit Selili naik terhadap dataran daerah pelabuhan), yang arahnya memanjang garis patahannya sampai ke arah Prangat sana (ruas Samarinda - Bontang).

Patahan yang besar ini, menyebabkan daerah sekitarnya banyak bidang lemah atau rekahan-rekahan yang mudah dilewati oleh air. Seiring waktu, daerah tepi Sungai Mahakam, jutaan tahun kemudian, mengundang minat orang-orang untuk datang dan bermukim. Alasannya tentu dekat air, nyaman untuk kehidupan sehari-hari.

Bukit Selili alias Gunung Steleng menjadi satu di antara pilihan awal permukiman penduduk Samarinda. Pemandangannya ciamik ke arah Mahakam. Sebagai satu di antara daerah pemukiman tertua di Samarinda, penduduk terus berdatangan dan tinggal, akhirnya menjadi kawasan permukiman yang padat.

Permukiman padat ini berada pada daerah perbukitan dengan kelerengan terjal, dengan material pasiran (jenis greywacke dan batu pasir kuarsa) dengan sisipan lempung dan batubara.

Permukiman padat, artinya beban bukit bertambah berat menopang rumah-rumah yang ada dan terus bertambah. Dulu material bangunan didominasi kayu, kini bangunan-bangunan baru kebanyakan sudah berkonstruksi beton. Beban lereng pun kian berat.

Masing-masing rumah tentu ada kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) yang digunakan setiap hari, yang berakibat menggelontorkan sejumlah air masuk ke lapisan pasiran maupun lempungan yang ada.

Air yang bolak-balik masuk, ditambah pada kisaran November-Februari sebagai musim hujan, akan membuat kawasan perbukitan tersebut semakin jenuh air. Beban bukit makin berat, menanggung rumah plus isinya, dengan badan bukit yang 'kembung' air.

Bukit, lapisan tanahnya perlahan melorot karena tak kuat menahan beban. Ini yang secara awam bisa disebut "tanah geser". Bahasa Indonesia-nya disebut "rayapan tanah". Sedangkan bahasa asingnya disebut "land creeping". Apabila nilai beban bukit melebihi batas toleransi bukit menahan bodinya, maka sampailah pada titik bahaya maksimum. Pada saat itulah bencana longsor akan terjadi.

"Patahan ini masih memanjang hingga menyeberang Mahakam ke Samarinda Seberang sisi timur," pungkas pria yang berprofesi sebagai geologist di perusahaan swasta itu.

Sementara itu, Yuniarti Ulfa, seorang pengajar Universiti Sains Malaysia yang pernah ber-SMP dan SMA di Jalan Bhayangkara Samarinda, memberikan komentar terkait fenomena ini. "Salah satu tanda rayapan tanah atau "creeping" yang paling mudah diidentifikasi adalah batang pohon yang melengkung, namun pertumbuhan dahannya tetap ke atas. Seperti terlihat dalam foto TKP, pohon-pohon di ujung jembatan kayu yang runtuh," ungkap Yuniarti Ulfa sebagaimana disampaikannya di grup Facebook Samarinda Bahari.   (MS)

Sumber foto:

- Foto TKP oleh Fajar (Wadanru Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Samarinda).

- Peta geologi Samarinda oleh Fajar Alam (geologist Samarinda).